Senin, 08 Februari 2010

SEJARAH SENI RUPA MODEREN

Demi Mas[s]a
“Bagi mereka yang merasa terjerat oleh sejarah, dan merasa bahwa sejarah itu terjerat dalam dirinya, langkah menuju emansipasi memerlukan sesuatu yang lain”
- Goenawan Mohamad, EKSOTOPI
Sejarah tentu cerita pada suatu masa, namun keliru kita anggap sejarah melulu soal masa lalu. Ketika penulis (cerita) sejarah menghadapi bukti-bukti masa lalu, sesungguhnya ia tengah hidup pada masa kini-nya. Ia menghidupkan tafsir. Tak semua penulis sejarah, bahkan selalu berada tepat di seluruh kisah-kisah masa lalu yang diceritakannya. Sejarah memang tak hanya tentang kesaksian aktual, lebih penting justru soal kesaksian kultural. Memahami, menerima, sejarah berarti mengaitkan narasi masa lalu itu, pada kepentingan soal-soal masa kini, dengan berbagai bayangan tentang masa depan. Menerima sejarah, dengan demikian, mengandung kepentingan: jadi soal yang dipikirkan. “(Ketika) kita berfikir, maka kita pun tak bisa lepas dari merumuskan identitas-identitas, membentuk pengertian-pengertian dan kategori-kategori”. Tak ada (narasi) sejarah yang alamiah, tak memihak.
Sambil menemukan berbagai kenyataan sosial-budaya, sejarawan dan kritikus seni Sanento Yuliman memeriksa perkembangan seni rupa Indonesia. Perkembangan yang diantaranya dibentuk persepsi sejarah itu, baginya, mengaburkan kesadaran sosiologis yang sesungguhnya menentukan berbagai rumusan identitas, pengertian, dan kategori sosial seni rupa sebagai lingkup bagian masyarakat Indonesia. Sanento menjelaskannya sebagai soal pandangan yang dianggapnya telah merintangi adanya ‘kesadaran sosiologis’ dalam memahami seni rupa Indonesia dalam lingkup yang menyeluruh (lht. Lampiran Tabel “Pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis’)
Mengikuti arah penjelasan Sanento, ada pertanyaan jelas: ‘Bagaimana kita mesti pahami jalan sejarah berbeda-beda dari berbagai tradisi seni rupa kita di tanah air?’ ―yaitu tradisi-tradisi seni rupa yang menunjukkan kenyataan berbagai kebudayaan etnik, yang tumbuh di desa dan di kota, serta mencerminkan berbagai golongan dan lapisan sosial. Bisakah kita kenal dan terima seluruh versi tentang urutan-urutan nilai (estetis) yang berbeda-beda itu, dalam rangka menjelaskan jenis-jenis atau cabang-cabang seni rupa di Indonesia, secara tertentu?
Misalnya saja. Kita temukan dua jalan guna mendekati pertanyaan itu ―yang dalam caranya kurang lebih bisa menunjukkan pertentangan. Kedua jalan itu, bagaimana pun, sama-sama punya kepentingan yang berada pada sebutan berbagai ‘konsep’. Jalan pertama, memahami konsep ‘Indonesia’ sebagai pijakan utama masalah. Kita tahu, Indonesia terbentuk sebagai komitmen politik yang sekaligus mengikat kesatuan wilayah (sebagai lokasi tempat pengalaman hidup berlangsung), nilai-nilai identitas (sebagai atribut kebangsaan), dam budaya (dalam manifestasi (ber)bahasa): Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Menerima komitmen semacam itu sebenarnya juga diiringi kesadaran menjadi ‘orang modern’. Artinya, memahami jadi ‘orang Indonesia’ berarti merumuskan identitas-identitas, membentuk pengertian-pengertian dan kategori-kategori modern itu dengan berbagai cara. Dalam berbagai kondisi lokalitas, segala pengertian dan gagasan-gagasan modern berusaha menemukan tempatnya, bahkan harus menempuh resiko membeda-bedakan segala hal yang berada di luar ke-modern-an. Alasannya, karena ‘Indonesia’ sebagai konsep kesatuan wilayah, identitas, dan kebudayaan, bagaimana pun, tumbuh dan mewarisi alam iklim pikiran modern ―mengandung, diantaranya, semangat dan keyakinan Abad Pencerahan akal, deklarasi kemanusiaan Revolusi Perancis, atau optimisme Revolusi Industri. Dengan demikian, usaha mengenal ‘seni rupa Indonesia’, pertama-tama, dimulai dengan menemukan alasan-alasan kesamaan keber-ada-annya, yaitu semangat ke-modern-an. Dari usaha mencari kesamaan itulah dikenal berbagai problematika kebedaan yang bukan hanya tentang kenyataanya, tapi juga cara menafsirannya.
Jalan kedua justru mulai dengan mengidentifikasi ‘seni rupa Indonesia’ dari berbagai keadaan yang berbeda-beda. Asumsinya, membiarkan sebutan ‘seni rupa Indonesia’ seolah adalah konsep ‘netral’ yang akan mampu menampung ke-ada-an berbagai tradisi seni rupa yang masing-masing mengandung nilai-nilai kebudayaan etnik sekaligus menunjukkan berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda-beda. Kita lalu memahaminya sebagai suatu ‘mosaik kebedaan’. Boleh jadi, ini yang disebut seni rupa ‘Nusa Antara’ itu. Masalahnya, kemudian, terletak pada soal membayangkan, menangkap, lalu mengerti bentuk gambaran semacam apa yang tampak pada ‘mosaik kebedaan’ tersebut. Hipotesanya, percaya pada gambaran mosaik itu akan muncul garis-garis persamaan bentuk pengungkapan, persinggungan raut-raut pernyataan, atau nuansa maksud-maksud yang berselaras diantara berbagai kebedaan. Berpijak pada persinggungan-persinggungan dan keselarasan itu lah kita menyebut adanya ‘kesamaan’.
Kedua jalan itu menunjukkan dinamika caranya masing-masing ―yang satu ‘mencari kebedaan dari kesamaan’, yang lainnya ‘mencari kesamaan dari kebedaan’. Dalam prosesnya, kedua cara itu mesti mengghadapi ‘sisi yang lain’ (liyan, the other) dari masing-masing sasarannya ―baik yang liyan dari kesamaan, maupun dari kebedaan. Bagi keduanya, paling penting tentu bukan soal hasilnya jadi persis seperti ‘apa’, selain bagaimana proses untuk membentuk dan menyusun hasil tersebut. Perkara ‘hasil’ adalah bagian dari dinamika cara itu berlangsung. Hasil itu, dianggap berhasil ataupun tidak, toh mesti muncul sebagai gambaran dari suatu proyeksi (visi) ―sekali pun memproyeksikan gambar yang terus mengalami perubahan. Di titik ini kita sadari pokok utama yang hendak diungkap Sanento, yaitu: perubahan. Kita tahu, apa yang ang tetap dari berbagai gejala alam dan budaya tentu saja adalah perubahan. Gejala perubahan ini lah masalahnya, kerena dalam prakteknya mengalami percepatan proses akibat modernisasi dan globalisasi sosial dan budaya.
David Harvey, seorang pemikir dan ahli geografi, menjelaskan proses modernisasi dan globalisasi sosial-budaya itu dalam kaitannya terhadap masalah ‘pemetaan ruang yang bersifat sosial dan politis’. Terutama terhadap situasi sosial-budaya yang kini dikenal sebagai perkembangan ‘masyarakat konsumsi’, ‘masyarakat tontonan’, ‘masyarakat pasca-industri manufaktur’, atau disebut ‘pasca-modernitas’ (postmodernity) itu, ia pahami sebagai suatu tahap perubahan yang mendasar dalam ‘rezim politik-ekonomi ruang’ (politico-economic regim of space)(5. Artinya, telah terjadi cara tafsir baru dalam memandang ke-ada-an ruang sebagai manifestasi kekuasaan politik dan ekonomi. ‘Penguasa’ masyarakat pasca-industri manufaktur adalah kaum pemodal yang tak harus memiliki berbagai perangkat kerja secara konkrit. Di Indonesia, pertumbuhan pasar modal adalah salah satu indikator untuk menunjukkan perkembangan masyarakat semacam ini.
Pun di tempat kita, bahkan hingga kini, soal paling ‘obyektif’ dan jadi kepercayaan umum untuk menunjukkan ke-Indonesia-an adalah soal ke-ada-an ruangnya, wilayah yang kita sebut sebagai kepulauan Nusantara. Lingkungan ini pula yang membentuk perbedaan sosial budaya berbagai kebudayaan etnik di kita, selama ini. Sejak berabad-abad lalu wilayah kepulauan Nusantara adalah jalur pelintasan budaya yang paling aktif dan dinamis, dalam berbagai bentuk interaksi sosial, politik, dan kepercayaan dari berbagai peradaban besar dunia. Hingga kemudian terbentuk pengalaman interaksi dengan barat yang dikukuhkan sejarah kolonialisasi. Pengalaman kolonial itu lah yang membentuk persepsi baru tentang ke-ada-an wilayah kepulauan itu sebagai ‘Indonesia’, dan jadi ‘tanah air’ bagi bangsa yang merdeka.
Bagi masyarakat barat, kolonialisme tentu bukan cuma petualangan biasa. Di balik berbagai upaya itu juga berkobar semangat juga persepsi tentang kemajuan masyarakat yang didorong berbagai optimisme revolusi sosial, budaya, dan teknologi. Tanah koloni adalah sumber bahan mentah bagi roda revolusi industri. Dalam sejarah transformasi sosial dan teknologi semacam itu, barat merintis pengenalan versi kemajuan sosial budaya yang disebut kondisi masyarakat modern, atau modernitas, di Indonesia. Menurut Harvey, dalam transformasi teknologi dan sosial kondisi modern itu berlangsung semacam bentuk dialektika yang menghubungkan kemajuan sosial dengan prinsip-prinsip perkembangan dunia penciptaan dan kreativitas, termasuk ekspresi kesenian. Pada satu sisi, berlangsung semacam ‘kekacauan ruang’ (spatial disruption) akibat munculnya kondisi-kondisi ‘ketidak-tetap-an baru yang bersifat me-ruang dalam pengalaman menjalani kehidupan modern’ (new spatial impermanence of modern life). Sementara itu di sisi lain, justru berlangsung keyakinan estetik yang bersifat individual (modernisme) yang terus-menerus berusaha mengambil jarak ruang pada setiap kondisi seperti itu, sebagaimana juga menunjukkan berbagai bentuk nostalgia terhadap berbagai gambaran ‘kondisi akar muasal’ serta situasi ruang hunian manusia yang dibayang-bayangkan ‘ideal’―yang seolah-olah tetap: ‘gemah ripah loh jinawi’.
Dalam berbagai contoh, sering kita temukan ekspresi seni yang menunjukkan situasi keterdesakkan, pengasingan, atau peminggiran subyek manusia dalam situasi perubahan ruang (tempat) yang serba cepat dan dramatis ―semisal, berubahnya lingkungan alami jadi kampung yang sibuk, desa yang jadi kehidupan kota, kota yang menjelma jadi metropolis, bahkan metropolis yang lalu jadi megapolis, yang seluruhannya tidak menjadikan setiap (subyek) manusia yang hidup di dalamnya jadi bagian yang turut menentukan. Alih alih menggambarkan sikap optimis dan rasa memiliki berbagai kemajuan, banyak ekspresi seni justru berbalik menyampaikan pesan yang bertentangan dengan pencapaian sosial, kultural, dan teknologis semacam itu dengan cara mengajukan kritik, atau menunjukkan berbagai gambaran lain yang berbeda demi menyiratkan situasi asal dan ideal yang mungkin terbayangkan. Ini lah yang kemudian dianggap sebagai dasar semangat keyakinan estetik modernisme, yaitu: sikap berjarak (individu, seniman) terhadap berbagai manisfestasi kemajuan agar bisa bersikap kritis, demi berbaikan perinsip kemajuan itu sendiri.
Pada tahap perkembangan modernitas, ‘waktu’ menyebar dan memadat dalam dimensi ruang. Artinya, kepentingan memikirkan ‘waktu’ (kecepatan, percepatan) menguasai dan mengatasi segala pertimbangan yang menyangkut keberadaan ruang. Ruang yang sedianya dibayangkan ‘netral’ dan bisa menampung segala kepentingan manusia yang menghidupinya itu tergusur pergerakkan kepentingan dimensi waktu, demi kemajuan sosial kultural. Gerak kemajuan itu tak lain adalah manifestasi berbagai prediksi, perencanaan, dan pengukuran (rasional, ilmiah, dan teknologis) berkenaan segala keadaan ruang sebagai potensi dan modal kemajuan hidup manusia di masa mendatang. Kolonialisasi ruang dari proyek modernitas yang tak kunjung henti ini menghasilkan akibat yang menghendaki banyak korban. Para korban adalah ‘subyek’ manusia dan masyarakat itu sendiri yang mesti menghadapi berbagai akibat perubahan ruang. Akibat yang menghasilkan kebingungan situasi berada dalam, dan rasa menjadi bagian dari, ruang yang sedianya menyiapkan jaminan identitas kultural yang mapan(6. Telaah David Harvey memberi gambaran yang lebih kompleks lagi dalam menjelaskan proses globalisasi dunia. Jika modernisasi dan proyek modernitas adalah proses yang memadatkan kondisi ruang dalam suatu satuan waktu (misalnya, dalam hitungan efisiensi, efektifitas, dan angka kecepatan pertumbuhan); maka globalisasi, dalam perpektif Harvey, bahkan adalah proses pemadatan yang sekaligus meleburkan dimensi ruang dan waktu. Dengan teknologi internet, misalnya, seseorang secara seketika dan instan bisa mengalami berbagai tempat dan kejadian. Harvey sekaligus memperingatkan: inilah masanya seseorang atau masyarakat mengalami kebingungan akan orientasi ruang dan waktu, secara bersamaan. Bagi analisa kebudayaan, hilangnya orientasi ruang bisa mengakibatkan rasa bingung seseorang atau masyarakat akan identitas-nya (secara personal, sosial, maupun kultural); sementara kebingungan akan dimensi waktu akan mengaburkan orientasi sejarah. Saat pengertian ‘masa’ dan ‘massa’ itu melebur, Yasraf Amir Piliang menyebutnya sebagai ‘dunia yang dilipat’, kita menghadapi semacam realitas yang dirampatkan secara bersama, antara soal-soal: yang individual dengan ‘yang khalayak’, ‘yang lalu dengan yang kini’, ‘yang di sini dengan yang di sana’.

Saryono, S,Sn

0 komentar: